Sudah lama ingin menulis tentang ini tapi baru sempat kali ini saya tulis (hehe..). Novel yang menghenyukkan perasaan saya hingga meneteskan air mata ketika membacanya. Kisah kehidupan Kinanti, seorang anak gadis dari Gunung Kidul yang ditukar oleh orang tuanya dengan 50 kilogram beras. Kinanti disekolahkan oleh majikannya ke Bandung untuk sekedar ‘agak lebih pintar’ untuk kemudian dipekerjakan sebagai TKW ke negara arab. Nasibnya sebagai TKW pun tidak berjalan mulus, berkali ia disiksa oleh majikannya, berkali-kali pula ia lari dan gonta-ganti majikan. Hingga suatu hari ia diculik dan jadi korban human trafficking (perdagangan manusia). Ia pun hanya bisa bersabar pada nasibnya ketika majikannya ikut membawanya ke Amerika, dimana ia menerima penyiksaan yang lebih parah dari sebelum-sebelumnya. Hingga ia sampai pada titik dimana kehidupan berbalik padanya. Ia menjadi warga negara Amerika dan disekolahkan oleh pemerintah Amerika hingga ia meraih gelar Profesor.
Kisah perih Kinanti di novel ini membuka mata saya, bahwa sebenarnya bisa saja banyak para wanita di luar sana yang kemungkinan besar kurang lebih bernasib sama dengan Kinanti. Bekerja mencari penghidupan di negeri orang karena keadaan keluarga yang kurang menguntungkan, namun ternyata malah siksaan yang diterima. Kinanti adalah salah satu potret kehidupan para tenaga kerja kita. Sudah banyak sekali kasus yang berkaitan dengan kekerasan pada para TKW yang diangkat ke media. Kasus yang hampir sama kerap berulang lagi dalam kurun waktu tertentu, itupun yang sempat terekam oleh publik, bagaimana dengan yang tidak diketahui?
Tenaga kerja wanita di Indonesia merupakan penyumbang devisa terbesar bagi negara, begitu ungkapan yang kerap terdengar. Namun apakah harga yang harus dibayar oleh para wanita ini sebanding dengan resiko dan ancaman yang akan mereka hadapi di tanah asing? Apakah sistem perlindungan tenaga kerja kita tidak dapat memberikan rasa aman dan stabilitas bagi saudara-saudara kita yang bekerja sebagai TKW, sehingga kasus kekerasan pada para TKW terulang dan terus terulang? Jika pengiriman TKW dihentikan seberapa besarkah dampak yang ditimbulkan bagi pemasukan devisa negara? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dalam benak saya sekelabat ketika membaca novel ini. Entah pada siapakah pertanyaan ini pantas ditujukan.
Terlepas dari itu semua, kembali saya teringat kisah masa kanak-kanak dongeng wanita-wanita yang begitu terhormat, di kisah Rama- Shinta, Roro Jonggrang, hingga para srikandi pejuang kemerdekaan seperti ibu Cut Nyak Dien, R.A Kartini, wanita-wanita Indonesia yang anggun begitu berharga dan berwibawa. Kenapakah harkat wanita Indonesia harus tercoreng dengan kisah TKW-TKW ini? Mengapa Indonesia tidak dikenal karena mengirim tenaga kerja intelektual ke luar negeri, seperti pada masa Malaysia baru merdeka? Kemanakah harga diri bangsa ini?? Kemanakah nilai moral dan wibawa bangsa yang besar ini?
No comments:
Post a Comment