28.12.13

Langit Abu-Abu

Jika kau dapat terbang dan jatuh pada gumpalan awan putih.
Di saat yang sama aku sedang berenang menyusuri sungai waktu.
Pada gugusan bintang dan cahaya temaram lampu merkuri
Di sanalah aku duduk termangu menatap pilu padamu

Jika hujan merupakan jawaban risau itu
Dan cinta tak lagi ada di sana menyapa
Maka sudahlah saja biarkan abu-abu
Semunya kan berlalu bersama senja

Bumi pun membisu
Angin terdiam pilu
Hatiku membatu...

Purify's

Bersyukur

"Kita harus bersyukur." 
"Mestinya kamu bersyukur!"
"Mari kita bersyukur.."
Sering sekali kita mendengar ungkapan-ungkapan yang lebih kurang sama. Terkadang pada ceramah-ceramah keagamaan, atau mungkin juga pada percakapan sehari-hari. 
Saya kadang berpikir, seperti apa sih tindakan bersyukur yang paling tepat itu? Sebagian dari kita mungkin akan berkata, bersyukur itu berterima kasih atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT. Tapi apakah hanya begitu? Bersyukur dengan menenggadahkan tangan sambil berkata "Ya Tuhan..terima kasih" Apakah hanya sampai disitu saja pengertian bersyukur?
Apakah dinamakan bersyukur jika setelah sholat maghrib berterima kasih atas rezeki yang telah diperoleh, lalu memfoya-foyakannya di malam harinya?
Bagaimana kita bisa bersyukur atas nikmat-nikmat lainnya yang tak terhitung banyaknya. Yang terpikirkan maupun yang terlewatkan. Yang disadari maupun yang tidak disadari.
Setelah saya renungkan, bersyukur itu sangat kompleks dan luas sekali penerapannya dalam kehidupan. Bersyukur tak hanya terbatas pada kata terima kasih pada Tuhan, lalu sudah. 
Bersedekah itu bersyukur. Bekerja itu bersyukur. Bahkan tidur itupun bersyukur. Bersyukur atas nikmat tubuh dan tenaga dengan merawat dan mengetahui batas-batasnya, sehingga tidak mempekerjakannya secara berlebihan. Bersyukur atas makanan yang dimakan dengan menikmati makanan dan tidak makan berlebihan. Setelah direnungkan kembali, ternyata banyak aktifitas dalam hidup ini yang merupakan bagian dari tindakan bersyukur. Semangat rasa syukur itulah yang dapat memberikan spirit sekaligus menyadari bahwa manusia bukanlah apa-apa. Manusia hanyalah makhluk yang lemah. Betapa banyaknya nikmat yang meliputi kehidupan kita, dan betapa sedikitnya kita menyadari. Mengapa kita sering memisahkan antara rasa syukur dan tindakan-tindakan lainnya?
Bersyukur.
Tak hanya sekedar pada kata-kata.
Tak hanya ungkapan di bibir saja.
Karena yang penting adalah apa tindakan balik yang kita lakukan sebagai wujud dari rasa syukur itu.

Because what goes around comes back around...

3.7.13

Pusat Hidup




 Ada lagu lama...
Lagu yang sering sekali dinyanyikan orang-orang pada berbagai tingkat kedewasaan. Baik yang masih remaja hingga yang sudah merasa dewasa. Dari generasi coboy junior hingga generasi trio kwek-kwek. Apakah lagu itu?
Lagu itu adalah lagu Galau, the feeling of anxiety sometimes coming with frustation and desperation.

Apa penyebabnya?
Galau karena pacar, istri/suami, galau karena bos, pekerjaan, cita-cita dan ambisi, binatang piaraan, gadget dan lain sebagainya.
Siapapun atau apapun penyebab yang menyulut munculnya rasa galau ini adalah dan adalah selalu diawali oleh rasa Kecewa.
Kecewa pada istri/suami karena sifat-sifatnya yang tak sesuai harapan dan anggapan selama ini. Kecewa pada pacar, berharap sang pacar setia tapi ternyata dia mendua.
Kecewa karena berharap gebetan akan serius ternyata dia hanya main-main.
Kecewa karena berharap bos akan memberikan bonus atas kinerja bulan kemaren, ternyata bonus tersebut tak kunjung datang.
Kecewa karena berharap pada ambisi yang ternyata tak bisa dicapai.
Kecewa ketika binatang peliharaan mati karena selalu berharap dia akan ada disana seterusnya untuk menemani.
Dan banyak lagi skenario lainnya.

Semua rasa kecewa itu datang dengan pola yang sama, yaitu dari harapan yang tak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Overekspektasi terhadap sesuatu, sedangkan sesuatu itu tidaklah se-sempurna seperti yang ada dalam pikiran kita. Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa manusia cenderung berekspektasi, berharap, bergantung pada sesuatu?
Jawabannya, karena itu adalah fitrah dari manusia. Manusia selalu membutuhkan sesuatu yang selalu ada disana, tempat mereka bergantung secara emosional. Jika tidak, akan ada rasa hampa, sekan ada lubang kosong dalam hati yang perlu untuk diisi.
Tapi sayangnya, terkadang manusia tidak menggantungkan jiwanya pada tempat yang tepat.

Manusia terkadang secara disadari ataupun tidak disadari menggantungkan seluruh kehidupan emosionalnya, jiwanya, pada sesuatu yang rapuh, yang terkadang tidak cukup kuat untuk berpijak. Inilah yang dinamakan pusat hidup. Kecenderungan mental untuk menyandarkan jiwa pada 'sesuatu'.

Hal ini sudah dimulai ketika kita masih kecil saat pusat hidup adalah orang tua kita. Saat anak-anak tak ingin jauh dari ibunya, begitulah kecenderungan yang terjadi. Terkadang pada beberapa orang, kecenderungan untuk menjadikan orang tuanya sebagai pusat hidup berlanjut hingga usia dewasa. Pada individu ini, sulit bagi mereka mengambil keputusan tanpa arahan dari orang tuanya, semuanya terserah papa, terserah mama dll.

Adalagi yang menjadikan istir/ suami/ pacar/ gebetan sebagai pusat hidupnya.  Tiap hari berinteraksi, secara emosional selalu terkait. Seluruh kehidupan emosionalnya berpusat pada orang itu. Mereka saling ketergantungan satu sama lain. Dan ketika segala sesuatunya berjalan, harapan dan ekspektasi tak dapat terhindari lagi. Lalu ketika semuanya makin intens, kecewa pun muncul pada akhirnya.

Jadi apakah yang semestinya dijadikan Pusat Hidup?

#timetoreflect










24.6.13

Ending The Feeling

Bisakah kita berbohong pada perasaan?
Bisakah kita mengelabuinya?
Bisakah pikiran dan logika mengatur bagaimana perasaan berkehendak?
Seandainya saja aku bisa, maka aku tidak akan lari darinya.
Perasaanku tak pernah mengenal logika, perasaaanku tak mengenal kompromi

Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan ketika aku hidup dalam kebohongan perasaan adalah dengan lari dan menjauh darinya.
Aku merasa itu jauh lebih baik daripada harus hidup dengan denial, pengelakan terhadap perasaan.
Lebih baik aku pergi menjauh hingga aku merasa tentram, karena ini semua sudah cukup menyiksa.
Aku ingin hidup dengan damai, jiwa dan hati yang damai.
Aku hanya ingin merasa utuh...
Hidup dengan pikiran dan perasaan yang sejalan dan sinkron, tidak bertolak belakang.

Pengorbanan terkadang harus dilakukan
Keputusan yang berat terpaksa diambil